Berinvestasi di instrumen keuangan mengandung resiko. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi, pemodal wajib membaca prospektus dan memahami informasi produk. Di pasar finansial kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa depan.

Kamis, 06 Agustus 2015

Apakah Investasi US Dollar Menarik Dalam Jangka Panjang ?



Tahun 2015 ini merupakan tahun yang berat untuk investasi berbasis saham, baik untuk saham langsung maupun reksa dana saham. Tercatat, sejak awal tahun
hingga 5 Agustus 2015, IHSG turun 7.2%. Reksa dana saham bahkan lebih dalam yaitu turun 10.74%. Pada waktu yang sama, berita penguatan mata uang USD terus menerus bermunculan di media. Bahkan disebut-sebut bahwa level Rupiah sudah mendekati level ketika krisis ekonomi tahun 1997 – 98 yang lalu.
 
Menurut saya, penguatan Dolar atau pelemahan Rupiah ini adalah fenomena global yang disebabkan rencana kenaikan suku bunga The Fed. Penguatan USD terhadap mata uang tidak hanya terjadi pada Rupiah saja tapi juga berbagai mata uang dunia. Bahkan secara persentase yang melemah lebih dalam dari Indonesia juga ada. Salah satu contoh di antaranya adalah Brazil, Rusia dan Jepang. Sebagai analis, Rupiah yang ke level 13.500an merupakan fenomena normal. Bukan tanda-tanda mau menuju krisis atau bahkan kebangkrutan seperti yang saya baca pada berita-berita hoax yang disebarkan via social media, WA dan BBM.
 
Tapi sebagai investor, muncul pertanyaan. Jika mata uang USD terus menerus menguat, sebagaimana secara historis memang demikian. Apakah mata uang tersebut menarik untuk dijadikan investasi jangka panjang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya melakukan penelitian data historis terhadap IHSG dan US Dollar dari tahun 2002 – 2014. Hasilnya adalah sebagai berikut :



Metode Pengukuran Return US Dollar
 
Untuk menghitung keuntungan mata uang US Dollar itu memang sulit. Sebab berbeda dengan saham dan reksa dana yang ada harga penutupan, di mata uang setiap hari ada harga beli dan harga jual. Sering juga dikenal dengan istilah Bid dan Offer. Kemudian harga bid dan offer ini bisa berbeda lagi di setiap money changer dan bank tergantung pada kapan kita kesana dan jumlah uang yang mau ditukarkan. Untuk mata uang US Dollar bahkan lebih ribet karena uang lama dan uang baru nilainya berbeda, demikian juga dengan pecahannya.
 
Bahkan yang menurut saya sangat aneh di Indonesia adalah kondisi uang harus dalam keadaan mulus. Jika kondisinya tidak mulus, bahkan nilai tukarnya bisa berkurang atau ditolak. Padahal di luar negeri mau uangnya lecek saja tetap bisa digunakan. Jadinya ketika ada USD yang kondisinya tidak bagus, biasanya di bawa ke luar negeri untuk dibelanjakan langsung.
 
Untuk bisa menghitung return US Dollar, saya menggunakan data Kurs Tengah Bank Indonesia. Informasi tersebut bisa diperoleh di website Bank Indonesia ini. Sebagai contoh
 
Tanggal 31 Desember 2014
Kurs Beli 12.378 Kurs Jual 12.502, Kurs Tengah adalah (12.502 + 12.378) / 2 = Rp 12.440 / 1 USD

 
Tanggal 6 Agustus 2015
Kurs Beli 13.461 Kurs Jual 13.597, Kurs Tengah adalah (13.461 + 13.597) / 2 = Rp 13.529 / 1 USD

 
Keuntungan dari investor dengan asumsi membeli USD pada 31 Desember 2014 dan menjualnya pada 6 Agustus 2015 adalah (13.529 – 12.440) / 12.440 x 100% = + 8.75%
 
Mengapa tidak digunakan kurs beli dan jual yang lebih riil ? Hal ini disebabkan karena data kurs beli dan jual tidak tersedia dalam jangka panjang. Dan praktek secara umum yang menunjukkan perubahan kurs biasanya menggunakan kurs tengah Bank Sentral negara yang bersangkutan.
 
Kemudian dengan menggunakan cara yang sama dan membandingkan kinerja IHSG dari tahun 2002 hingga 2014, diperoleh hasil sebagai berikut



Perbandingan USD dan IHSG 2002 – 2014


Dalam 13 tahun terakhir, tidak pernah dalam satu kalipun USD dan IHSG negatif bersamaan. Jika tidak salah satunya, maka kedua-duanya positif. Hal ini menunjukkan bahwa USD bisa menjadi diversifikasi yang baik untuk investasi reksa dana saham atau saham langsung. Sebab ketika saham rugi, investasi dolarnya pasti untung. Jika investasi dolar rugi, maka secara historis saham selalu untung, bahkan cukup besar.
 
Kemudian, jika anda memiliki uang Rp 1 juta dan berinvestasi sama-sama di dolar dan IHSG dari tahun 2002 sampai 2014, maka uang anda akan berkembang menjadi Rp 1.195.769 pada USD dan Rp 13.332.000 pada IHSG atau setara 19.57% dan 1.233 % dalam 13 tahun. Jika dihitung return compounding-nya, berarti USD hanya memberikan 1.38% per tahun dalam jangka panjang. Untuk saham sendiri, dalam periode yang sama mencapai 22.05% per tahun.
 
Dalam konteks investasi jangka panjang, rata-rata return 1.38% per tahun sangatlah kecil sehingga tidak cocok untuk menjadi portofolio yang utama. Jadi kalaupun anda ingin berinvestasi pada USD, sebaiknya dilakukan bukan pada mata uang USD melainkan pada instrumen investasi berbasis USD seperti reksa dana pendapatan tetap atau reksa dana campuran USD.
 
Demikian, semoga artikel ini bermanfaat dalam memahami investasi di mata uang US dollar.
 
Penyebutan produk investasi  (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.

~Rudiyanto 
( Head of Operation and Business Development PT. Panin Asset Management dan Pengamat Pasar Modal )